Bab I
Sistem
Iklim
Setiap
hari kita terpapar oleh kondisi cuaca. Setiap hari pula kita mendengar, melihat
atau membaca dari media masa seperti televisi, radio, surat kabar atau media
online tentang kondisi cuaca di dunia. Saking seringnya mendengar, melihat atau
membaca tentang berita cuaca maka kita sering menganggap bahwa cuaca sebagai
sesuatu informasi yang kurang ada artinya. Pada pembicaraan sehari-haripun
kondisi cuaca bukan hal pembicaraan yang dianggap penting untuk menghangatkan
suasana pembicaraan. Pernahkah rekan anda menanyakan kondisi cuaca kemarin atau
hari ini ? Hampir tidak pernah, bukan ? Hal ini berbeda halnya dengan budaya
bangsa-bangsa di negara-negara lintang tengah dan tinggi yang selalu menyatakan
atau menanyakan kondisi cuaca setiap kali bertemu dengan rekan atau orang yang
baru mereka kenal sekalipun.
Pertanyaan
selanjutnya, apakah sebenarnya cuaca itu ? Cuaca adalah kondisi atmosfer pada
suatu saat dan wilayah tertentu. Ia menyatakan kondisi atmosfer pada hari
kemarin, sekarang dan besok atau jangka waktu yang pendek. Bisa pula untuk
menyatakan kondisi beberapa menit dan jam ke depan .
Berbeda
halnya dengan iklim yang merujuk pada sintesa cuaca dari hari ke hari dalam
jangka waktu yang panjang pada suatu wilayah tertentu. Sintesa yang dimaksud,
tidak hanya sekedar perata-rataan sederhana saja tetapi juga perlu mengetahui
keadaan ekstrimnya, dan fluktuasi kejadiannya. Misalnya dua tempat mempunyai
kondisi temperatur rata-rata tahunan sama maka kedua tempat tersebut mungkin
mempunyai iklim yang berbeda. Selain itu iklim bisa diartikan pula sebagai
deskripsi statistik kondisi cuaca pada jangka waktu yang relatif panjang.
Menurut WMO (World Meteorological Organization),
jangka waktu yang relatif panjang tersebut adalah 30 tahun. Mengapa 30 tahun ?
Ini merupakan kesepakatan para ahli meteorologi dan klimatologi untuk
membuang/mengabaikan fluktuasi fenomena yang terlalu kecil dan menghilangkan
tren abad. Pemilihan awal periode 30 tahunpun juga tidak sembarangan dimana
awal tahun yang dianjurkan oleh WMO adalah mulai tahun 1900. Dengan demikian
data yang digunakan untuk menentukan iklim di suatu tempat seharusnya adalah
1900 – 1930, 1931 – 1960, 1961 – 1990, dan seterusnya. Dengan demikian maka
penentuan iklim yang menggunakan data tahun 1978 – 2008 adalah tidak tepat.
Meskipun demikian sepertinya ada wacana bahwa ketentuan yang disampaikan WMO
tersebut disesuaikan dengan kekinian.
Dan
satu hal lagi yang perlu diketahui selain cuaca dan iklim yakni musim. Musim
atau mausim adalah selang periode
tertentu dimana sesuatu hal menjadi dominan. Seperti halnya musim hujan, maka
sesuatu hal yang dimaksud di atas adalah hujan. Jadi dalam sebagian waktu
tersebut hujan adalah fenomena yang banyak terjadi. Di negara kita dikenal
musim hujan dan musim kemarau sedangkan di lintang tengah dan tinggi dikenal 4
musim yakni musim dingin, semi, panas dan gugur.
Sebelum
kita membahas lebih lanjut tentang iklim maka ada baiknya bagi kita untuk
membahas tentang sistem iklim.
1.1.Sistem iklim
Gambar 1.1
Sistem iklim di bumi dengan komponen-komponennya
(http://www.sahfos.ac.uk/climate%20encyclopaedia/images/climatesystem.jpg)
Sistem
iklim adalah interkoneksi antara sub sistem iklim yang terdiri dari sub sistem
atmosfer, litosfer, hidrosfer dan biosfer serta kriosfer. Dengan demikian maka
sistem iklim berhubungan tidak hanya dengan kebanyakan bagian atmosfer saja tetapi
juga berbagai jenis media yang melandasinya untuk menghasilkan keseluruhan
iklim yang terintegrasi seperti terlihat pada gambar 1.1 di atas. Atmosfer
merupakan bagian yang terdiri dari gas, lithosfer merupakan bagian padat bumi,
hidrosfer merupakan bagian cair bumi yang kebanyakan berupa air asin (lautan)
Biosfer merupakan bagian yang terdiri dari makhluk hidup seperti tumbuhan,
hewan dan manusia. Namun akhir-akhir ini dibedakan antara bagian tumbuhan dan
hewan yang tetap dimasukkan dalam biosfer dan bagian manusia yang dikelompokkan
dalam humanosfer. Kriosfer adalah bagian bumi/sistem iklim yang terdiri dari
salju dan es. Di luar sub sistem di atas harus diperhatikan pula matahari
sebagai sumber energi utama pembangkit iklim di bumi. Hubungan-hubungan di
antara sub-sub system iklim di atas demikian kompleks; perubahan pada satu sub
system akan berpengaruh pada sub system yang lain. Misalnya saja menciutnya
lapisan kriosfer di kutub akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfer menyebabkan meningkatnya ketinggian muka air laut dan luasnya lautan,
penciutan/ pengurangan luas daratan dan terganggunya cuaca dan iklim dunia.
Demikian kompleksnya sub system iklim tersebut sehingga sampai saat ini belum
ada persamaan pengatur yang bisa secara detail memasukkan semua sub system
tersebut untuk peramalan cuaca.
1.2.Faktor-faktor yang
mempengaruhi iklim
Terdapat delapan faktor yang
mempengaruhi iklim di suatu tempat. Kedelapan faktor tersebut adalah :
|
|
Kedelapan faktor di atas tidak
berdiri sendiri-sendiri melainkan bekerja bersama-sama menghasilkan iklim yang
demikian kompleks.
a.
Lintang
Besar lintang
bumi adalah dari nol derajat (lintang rendah) sampai dengan lintang 900
baik utara maupun selatan (lintang tinggi). Dengan demikian total besarnya
lintang adalah 1800. Kemiringan aksis/sumbu bumi menyebabkan
terjadinya perbedaan radiasi yang diterima pada waktu yang berbeda. Wilayah
yang menerima radiasi dengan sudut 900 (tegak lurus) terhadap
permukaan bumi akan mendapatkan radiasi yang lebih besar daripada yang sudut
datangnya lebih kecil. Itulah sebabnya di ekuator pada tengah hari radiasi
matahari mencapai puncaknya. Tentu kita juga mengetahui bagaimana gerak semu
matahari dari 23,50 LU sampai 23,50 LS. Pada saat
matahari terletak di belahan bumi selatan (BBS) maka radiasi matahari di BBS
lebih besar dibandingkan di belahan bumi utara (BBU). Sebaliknya ketika
matahari di BBU maka radiasi matahari di BBU lebih besar dibanding di BBS,
tentu saja bila lintangnya sama. Matahari berada di 23,50 LU (Tropic of Cancer) pada tanggal 21 – 22
Juni dan di 23,50 LS (Tropic
of Copricorn) tanggal 21 – 22 Desember. Sedangkan tepat di ekuator (vermal equinox) terjadi pada 21 – 22
Maret dan autummal equinox pada 22 –
23 September. Matahari terletak paling jauh dari bumi (aphelion) terjadi pada bulan Juli sedangkan terletak paling dekat
dengan bumi (perihelion) terjadi pada
bulan Januari. Studi menunjukkan bahwa pada saat bumi berputar pada sumbunya
maka sisi yang menghadap matahari akan mengalami penyinaran matahari/siang
hari, sedangkan sisi yang membelakanginya mengalami kegelapan/malam hari. Bila
saja matahari tidak miring terhadap sumbunya maka matahari pada siang hari
selalu secara langsung berada di atas ekuator sehingga terjadi 12 jam siang
hari dan 12 jam malam hari di setiap lintang setiap hari setiap malam. Kenyataannya
bumi berputar pada porosnya dengan kemiringan 23,50 sehingga terjadi
variasi besarnya radiasi yang diterima di setiap lintang. Sebagai contoh pada
lintang utara 100, pada tanggal 22 September dan 20 Maret mengalami
panjang waktu dari terbit sampai terbenam selama 12 jam. Tetapi pada tanggal 21
Juni mengalami waktu siang hari lebih
lama yakni 12,6 jam sedangkan pada 21 Desember mengalami waktu terang lebih
pendek yakni 11,4 jam. Beruntunglah bangsa Indonesia yang mengalami panjang
siang dan malam hari yang tidak banyak berbeda karena letak Indonesia yang
berada di sekitar lintang 00 atau ekuator.
b.
Massa udara
Massa
udara yang dimaksud di atas bukanlah massa yang berkaitan dengan bobot misal
gram, kilogram, ton dsb tapi "massa" yang berarti "kumpulan atau
badan (body)". Jika udara menetap pada waktu yang cukup lama di atas suatu
permukaan bumi, sifatnya cenderung menjadi ciri khas untuk permukaan itu. Jika
sifat permukaan tersebut kurang lebih sama untuk daerah yang sangat luas
(ribuan kilometer persegi) maka sifat suatu badan udara yang besar akan menjadi
hampir sama/ seragam dalam bidang horizontal. Badan udara dengan sifat
(khususnya dicirikan oleh temperatur dan kelembapan) yang hampir seragam dalam
jarak horizontal ribuan kilometer disebut sebagai massa udara.
Dengan
demikian, agar terbentuk suatu massa udara maka udara harus diam atau bergerak
untuk waktu yang lama dan terdapat di atas daerah yang luas yang memiliki sifat
seragam. Sifat dan tingkat keseragaman tersebut bergantung pada sumber massa
udara, riwayat (modifikasi) massa udara dan waktu hidup massa udara.
Pembentukan massa udara yang seragam dapat diperoleh melalui proses percampuran
dan radiatif yang memerlukan waktu selama tiga sampai tujuh hari. Massa udara bisa
diklasifikasikan berdasarkan pada daerah sumber dan jenis permukaannya.
Terdapat 4 klasifikasi dasar dari massa udara, yakni continental (c) yang
secara tipikal kelembapannya rendah, maritime (m) yang kandungan uap airnya
tinggi, polar (P) yang sifatnya dingin dan tropikal (T) yang sifatnya hangat.
Dari keempat tipe dan sifat permukaan di atas, terdapat 4 kombinasi yakni
continental polar (cP), continental tropic (cT), maritime polar (mP), dan
maritime tropic (mT). Ada lagi tambahan jenis massa udara yakni Arctic (A) yang
sifatnya sangat dingin dan sering tidak bisa dibedaan dengan massa udara polar
(kutub) di dekat permukaan. Massa udara ini berasal lebih banyak dari atas
tutupan es kutub daripada massa daratan lintang tinggi. Oleh karena itu
terdapat 2 lagi tambahan massa udara yakni continental arctic (cA) dan maritime
arctic (mA). Beberapa skema klasifikasi menambahkan indikasi pada udara
tersebut yakni warmer (w) dan cooler (k) setelah nama massa udaranya, seperti
misalnya cPk (continental polar cooler) dan mPw (maritime polar warmer).
Sifat-sifat masing-masing massa udara ini sesuai dengan namanya. Oleh karena
itu untuk mengetahui sifat-sifat masing-masing massa udara dengan lebih detail
dipersilahkan para pembaca mencari referensi untuk itu.
Massa
udara arctic terasakan sampai ketinggian 650 mb, cP dan mP terasakan sampai
beberapa milibar di atas ketinggian A. Massa udara mT terasakan sampai
ketinggian hampir 500 mb sedangkan cT kurang lebih terasakan sampai ketinggian
700 mb. Di antara semua massa udara tersebut, massa udara A mempunyai kadar
kebasahan yang paling rendah dan mT adalah yang paling tinggi kadar
kelembapannya. Seperti telah disebut di atas, massa udara bisa mengalami
perubahan sifat. Ini terjadi ketika ia meninggalkan sumbernya karena
berinteraksi degan permukaan yang dilalui yang mengubah kestabilan dan
berinteraksi dengan massa udara lainnya. Ketika bergerak menuju ekuator, massa
udara A akan mendapatkan pemanasan dari bawah (suplai uap air dari permukaan
yang hangat dan basah) sehingga menjadi tidak stabil sehingga bisa timbul awan
besar. Jika ia bergabung dengan aliran mensiklon maka udara menjadi makin tidak
stabil dan perawanan yang menghasilkan hujan curah (shower) makin bertambah.
Namun yang sering terjadi adalah bahwa massa udara ini bergabung dengan aliran
mengantisiklon sehingga pertumbuhan vertikal awan terbatasi walaupun dia
mendapat suplai pemanasan dari bawah. Sebaliknya massa udara mT yang bergerak
menuju kutub di musim dingin cenderung makin stabil sehingga yang terbentuk
hanya awan-awan jenis stratus. Sedangkan di musim panas, di atas daratan di
lintang rendah, massa udara ini menjadi makin tidak stabil sehingga terbentuk
awan-awan kumulus (Cu), hujan curah dan badai guntur.
Cuaca
dalam suatu daerah bergantung pada berbagai sifat massa udara yang melaluinya
terutama kestabilan dan kandungan uap airnya. Umumnya massa udara maritim
memiliki perawanan dan hujan curah yang lebih besar, sedangkan massa udara
continental cenderung membawa sifat cerah pada daerah yang dilaluinya. Meskipun
pada sebagian besar waktu, cuaca pada suatu tempat ditentukan oleh sifat massa
udara yang berkuasa atau menyelimuti wilayah tersebut, namun cuaca sangat buruk
sering berhubungan dengan interaksi dari dua massa udara yang bertemu (front)
khususnya di batas pertemuan kedua massa udara tersebut. Indonesia tidak
dilalui oleh front ini. Karena iklim tersusun dari cuaca di setiap harinya maka
massa udara ini mempengaruhi iklim di suatu tempat atau kawasan
c.
Sistem
tekanan
Kita bisa
mengetahui tekanan sebagai fungsi dari ruang dan waktu. Distribusi ruangpun
bisa kita tinjau dalam distribusi vertikal dan horizontal. Kalau dilihat
distribusi vertikal tekanannya maka tekanan menurun terhadap ketinggian
mengikuti pola eksponensial. Pola ini mirip dengan pola distribusi vertikal
kerapatan atau densitas udara. Salah satu dari jenis diagram termodinamika yang
disebut diagram skew T – log p menggunakan logaritma tekanan sebagai sumbu
vertikalnya. Ini karena tekanan lebih mudah digunakan dibandingkan dengan
menggunakan besaran ketinggian dalam meter atau kilometer. Besaran ketinggian
dalam meter sangat bergantung pada ketinggian suatu lokasi pengukuran atau
pengamatan dari permukaan laut rata-rata sehingga pengamatan di kota A dan kota
B bisa berbeda. Berbeda dengan penggunaan tekanan yang tidak dipengaruhi oleh
ketinggian stasiun pengamatan.
Distribusi
tekanan horizontal bisa semi permanen bisa pula bergantung pada musim.
Distribusi semi permanen maksudnya adalah bahwa suatu tekanan (misal tekanan
tinggi) hampir selalu terdapat di suatu wilayah tertentu. Contoh dari
distribusi tekanan tinggi semi permanen adalah tekanan tinggi Bermuda – Azores
dan Pasifik, sedangkan distribusi tekanan rendah semi permanen adalah tekanan
rendah Aleutian dan Islandia. Sementara distribusi tekanan musiman adalah
tekanan tinggi Siberia dan Kanada.
Akibat
distribusi tekanan yang disebabkan oleh perbedaan distribusi temperatur di bumi
maka berbagai peristiwa menarik terjadi di bumi. Angin akan bertiup dari
wilayah tekanan tinggi ke wilayah tekanan rendah. Pembentukan siklon dan
antisiklon juga terjadi. Pusat siklon adalah tekanan rendah sedangkan pusat
anti siklon adalah tekanan tinggi. Arah pusaranpun berbeda antara siklon dan
antisiklon di BBU dan BBS. Siklon di BBU mempunyai arah putaran yang sama
dengan antisiklon di BBS. Sebaliknya antisiklon di BBU akan mempunyai arah
putaran yang sama dengan siklon di BBS. Arah perputaran siklon di BBU adalah
berlawanan arah dengan jarum jam sedangkan anti siklonnya berarah searah
perputaran jarum jam. Ini tidak lain karena pengaruh dari gaya Coriolis yang
menyebabkan arah angin berskala besar di BBU berbelok ke kanan, sedangkan di
BBS membelokkan angin ke arah kiri. Peristiwa siklon dapat dilihat dari citra
satelit yang menunjukkan pusaran awan yang tebal karena pada saat siklon
terjadi memang perawanan banyak terjadi. Berbeda dengan antisiklon yang
ditandai oleh area bebas awan yang luas. Ini dikarenakan terjadi gerak sinking pada wilayah tersebut, sehingga
wilayahnya relatif cerah. Banyak orang salah memahami ketika mereka naik
pesawat dan tiba-tiba pesawat seolah-olah jatuh dan tidak ada tenaga sebagai
melewati wilayah kosong udara. Perlu diingat bahwa tidak ada wilayah di bumi
ini yang kosong udara mengingat sifat udara yang mengisi setiap tempat yang
kosong. Peristiwa yang dialami orang tersebut tidak lain karena pesawatnya
melewati wilayah sinking udara. Oleh
karena itu semoga setelah membaca buku ini tidak ada lagi yang beranggapan
bahwa pesawat “jatuh” karena melewati wilayah kosong udara.
Berapa nilai
tekanan diketahui tinggi dan rendah ? Sampai saat ini dikatakan sebagai tekanan
tinggi atau rendah adalah nilai relatif dibanding nilai tekanan di sekitarnya.
Bila nilai tekanannya 937 milibar dikelilingi oleh nilai-nilai tekanan yang
lebih besar maka tekanan 937 mb tersebut sebagai pusat tekanan rendah.
Sedangkan bila nilai tekanannya 1030 mb yang dikelilingi oleh nilai-nilai
tekanan yang lebih rendah maka tekanan 1030 mb tersebut dikatakan sebagai pusat
tekanan tinggi.
d.
Arus
laut
Seperti telah
dikemukakan sebelumnya arus laut berperan besar dalam mentransfer panas dari
wilayah ekuator ke lintang-lintang lebih tinggi. Pernah mendengar istilah Great Ocean Conveyor Belts ? Dalam
gambar 1.2 di bawah ditunjukkan bagaimana arus laut tersebut bergerak dimana
warna biru menjunjukkan arus dalam (dingin) sedangkan yang berwarna kemerahan
adalah arus permukaan (hangat). Perairan dalam Atlantik utara sangat dingin dan
kadar salinitasnya tinggi sehingga densitasnya tinggi. Ia tenggelam dan
mengalir ke selatan yang penting untuk pertukaran panas Arktik dengan ekuator.
Dibutuhkan waktu yang sangat lama bagi massa air di suatu tempat kembali ke
tempat semula atau dengan kata lain jika kita menempatkan suatu benda dalam
ocean conveyor belt di suatu tempat akan kembali ke tempat semula.
Gambar 1.2 Great Ocean Conveyor Belt
(http://blogs.ei.columbia.edu/wp-content/uploads/2010/04/wally-ocean-conveyor-no-credit.jpg)
e.
Kebenuaan
atau kontinentalitas
Daratan lebih
cepat panas dan dingin daripada air. Massa daratan benua yang besar seperti
China, India dan Rusia cenderung mempunyai jangkauan temperatur tahunan yang
lebih ekstrim dan umumnya mempunyai curah hujan yang lebih sedikit. Sifat
daratan dan perairan seperti di atas sebenarnya dalam skala kecil bisa pula
kita lihat dari peristiwa angin darat dan angin laut. Perbedaan tanggapan
daratan dan lautan atas pemanasan oleh radiasi matahari menyebabkan hal di atas
terjadi.
Kebenuaan ini
pula yang mempengaruhi distribusi tekanan tinggi dan rendah dunia serta
pembentukan massa udara. Pada saat matahari maksimum di BBS, daratan Asia
khususnya sekitar dataran tinggi Tibet merupakan wilayah tekanan tinggi
sedangkan daratan Australia merupakan wilayah tekanan rendah. Berlaku hal yang
sebaliknya jika matahari maksimum di BBU.
Pegunungan juga
berpengaruh pada pembentukan iklim suatu tempat. Jangkauan pegunungan dalam
arah utara – selatan di benua Amerika misalnya akan menginterupsi angin utama
timur atau barat sehingga menyebabkan pengangkatan orografis, pendinginan massa
udara dan ekspansi curah hujan. Sisi arah angin (windward), dari pegunungan tersebut mempunyai iklim yang lebih
basah dibanding sisi bawah angin (leeward)
yang relatif lebih kering. Di negara kita juga hal tersebut terjadi, misalnya,
pada pegunungan Bukit Barisan di pulau
Sumatra. Umumnya di sisi sebelah barat lebih basah dibanding sisi sebelah
timurnya. Hal ini tidak lain karena pada saat musim kemarau uap air yang dibawa
angin tenggara barat daya dari Samudera Hindia lebih banyak dijatuhkan menjadi
hujan oleh pengaruh orografi. Di pulau Jawa juga berlaku hal yang sama dimana
pada saat musim kemarau wilayah pulau Jawa bagian selatan lebih basah daripada
sisi sebelah utaranya.
f.
Sirkulasi
atmosfer
Akibat perbedaan
pemanasan yang tidak merata di seluruh muka bumi maka terjadilah gerak udara.
Jika gerak udara tersebut mempunyai lintasan tertutup maka terbentuklah
sirkulasi. Secara global terdapat sel sirkulasi dalam arah zonal (arah barat –
timur) dan meridional (arah utara – selatan). Sirkulasi Walker merupakan sel
sirkulasi dalam arah zonal. Sedangkan dalam arah meridional kita kenal tiga sel
sirkulasi yakni sel Hadley, sel Ferrel, dan sel Kutub di setiap belahan bumi.
Letak dari sel-sel sirkulasi tersebut tidak tetap pada lintang tertentu, tetapi
bergeser-geser sesuai dengan gerak semu matahari. Ketika matahari di BBU maka
sel sirkulasi Hadley misalnya agak bergeser ke arah utara. Perhatikan gambar 1.3
di bawah. Gambar tersebut merupakan idealisasi dari sel sirkulasi global yang
terjadi di bumi.
Gambar 1.3 Sirkulasi
atmosfer dalam arah zonal dan meridional.
Perhatikan
letak-letak wilayah gerak turun (subsidence)
dan gerak vertikal ke atas (ascending).
Wilayah udara turun terjadi di sekitar lintang 300 dan 900
baik di BBU maupun BBS. Sedangkan wilayah udara naik terjadi di sekitar lintang
00 dan 600. Gerak udara turun terjadi karena wilayah
permukaannya mempunyai tekanan tinggi sedangkan wilayah udara naik wilayah
permukaannya merupakan wilayah tekanan rendah. Di wilayah tekanan tinggi
terjadi divergensi sedangkan di wilayah tekanan rendah terjadi konvergensi. Di
wilayah subsidensi umumnya curah hujannya kurang akibat proses tersebut
menghambat pertumbuhan perawanan yang berpotensi hujan. Itulah sebabnya di sekitar
lintang 300 banyak terdapat padang pasir. Berbeda halnya dengan
lintang 00 (ekuator) dimana terjadi proses konvergensi yang
menyebabkan perawanan hujan tumbuh dengan baik. Sedangkan pada lintang 600
terjadi proses konvergensi antara 2 massa udara yang membentuk front yang
berpeluang besar pada terjadinya hujan.
Dari
model tiga sel yang telah disebut di atas, ekuator merupakan lokasi terpanas di
bumi dan bertindak sebagai zone bertekanan rendah termal yang dikenal sebagai
zone konvergensi antar tropis (Inter Tropical
Convergence Zone). ITCZ membawa udara permukaan dari subtropis. Saat massa
udara tersebut mencapai ekuator maka dia naik ke troposfer atas oleh proses
konvergensi dan konveksi. Ia mencapai ketinggian maksimum kira-kira 14 km dan
kemudian mengalir ke arah kutub utara dan selatan. Gaya Coriolis menyebabkan defleksi
atau pembelokan udara yang bergerak ini. Pada kira-kira lintang 300
udara akan mulai berhembus secara zonal dari barat ke timur. Aliran zonal ini
dikenal sebagai jet stream sub
tropis. Aliran zonal juga menyebabkan terjadinya akumulasi udara di troposfer
atas saat aliran udara tidak lagi berhembus dalam arah meridional. Sebagai
kompensasi akumulasi ini, sebagian udara di level atas ini tenggelam atau sinking kembali ke permukaan membuat
wilayah tekanan tinggi subtropis. Dari wilayah ini, udara permukaan menjalar
dalam dua arah. Sebagian bergerak ke ekuator untuk melengkapi sel sirkulasi
Hadley dimana udara yang bergerak ini dibelokkan oleh gaya Coriolis membentuk
angin pasat timur laut (di BBU) dan angin pasat tenggara (di BBS). Sedangkan
udara yang bergerak ke arah kutub di wilayah tekanan tinggi sub tropis juga
dibelokkan oleh percepatan Coriolis yang menghasilkan angin baratan (westerlies).
Gambar 1.4 Penampang melintang sel sirkulasi di BBU
(http://www.skepticalscience.com//pics/jetstream-2.jpg)
Di
antara lintang 300 dan 600 baik di BBU maupun di BBS,
angin udara atas umumnya berhembus ke arah ekuator sedangkan angin permukaan
menuju ke arah kutub. Akibat gaya Coriolis maka terjadi angin baratan di
wilayah ini. Pada permukaan bumi pada lintang 600 baik BBU maupun
BBS baratan sub tropis bertumbukan dengan angin yang berhembus dari kutub yang menghasilkan
pengangkatan front dan membentuk tekanan rendah sub tropis atau siklon lintang
tengah. Sebagian kecil dari udara yang diangkat ini dikirim balik ke dalam sel
Ferrel setelah dia mencapai puncak troposfer. Sebagian besar udara yang
diangkat ini berarah menuju vortex (pusaran) kutub dimana dia bergerak ke bawah
membentuk tekanan tinggi kutub. Ini semua dapat dilihat pada gambar 1.4 di
atas.
g.
Ketinggian
Efek ketinggian
terhadap cuaca dan iklim dapat kita lihat dan rasakan dengan jelas. Umumnya
wilayah-wilayah yang berada di dataran rendah relatif panas sedangkan di
pegunungan-pegunungan relatif lebih dingin. Makin tinggi suatu gunung makin
rendah pula temperatur udara di puncaknya. Tentu anda masih ingat bahwa di
lapisan troposfer, terjadi peristiwa lapse
rate yakni laju penurunan temperatur terhadap ketinggian. Di wilayah kita
setiap kenaikan 1 (satu) kilometer suhu udara akan turun sebesar kurang lebih
10 0C. Dengan demikian gunung A dengan ketinggian 4 km dari
permukaan laut rata-rata yang suhu udara di MSL 27 0C akan mempunyai
suhu udara di puncak secara teoritis sebesar –13 0C. Bisa pula suhu
udara di puncak tidak serendah tersebut bergantung pada kondisi apakah parsel
udara yang dibawa angin sampai puncak gunung tersebut mengalami lebih dulu kejenuhan
pada ketinggian tertentu. Parsel udara adalah bagian kecil dari udara yang kita
cuplik yang sifat-sifatnya masih merepresentasikan massa udara secara
keseluruhan di wilayah tersebut. Teorema parsel udara tersebut merupakan kajian
yang sangat menarik dalam meteorologi.
Ketinggian
tersebut mempunyai efek yang dramatis pula pada distribusi tanaman dan hewan.
Kita mengenal sayur-sayuran banyak dibudidayakan di pegunungan karena mereka umumnya
memang cocok hidup di lingkungan yang berudara dingin. Sayur-sayuran tersebut
misalnya adalah bayam, kol atau kubis, sawi, kentang, tomat dan sebagainya yang
berbeda dengan tanaman di dataran rendah seperti padi, tebu, dan sebagainya.
h.
Lautan
Lautan membawa
dampak pada temperatur wilayah sekitarnya. Ia memodifikasi cuaca dan iklim pada
lokasi yang dekat dan bahkan pula jauh dari lautan tersebut. Pada musim dingin
lautan menghangatkan sedangkan pada saat musim panas lautan mendinginkan dan
menyejukkan. Anda yang tinggal di dekat pantai bisa memperhatikan apakah hal di
atas benar atau tidak.
Kota A dan B
terletak pada lintang yang sama. Kota B lebih dekat dengan bodi air yang besar
(lautan) dibanding kota A. Maka kalau kita plot distribusi temperaturnya
terhadap waktu misalnya dalam satu tahun maka akan terlihat bahwa kota B
mempunyai garis temperatur yang relatif datar (moderat) dibanding kota A. Ini berarti lautan memoderasi temperatur
di kota B.
Lautan dan
atmosfer berhubungan erat dan bersama-sama membentuk komponen sistem iklim yang
paling dinamis. Lautan memainkan peran kritis dalam menyimpan karbon dan panas.
Melalui arus laut, panas di troposfer akan didistribusikan dari lintang rendah
ke lintang lebih tinggi dan sebaliknya. Peristiwa di lautan yang paling banyak
dibicarakan beberapa puluh tahun terakhir yang berpengaruh pada cuaca dan iklim
global adalah El Niño, La Niña, dan Dipole Mode. Sudah banyak dipublikasikan
bagaimana dampaknya pada cuaca dan iklim meskipun sampai saat ini masih belum
jelas ditemukan penyebabnya.
BAB II
Neraca
Radiasi di Bumi
Radiasi
adalah sebuah energi yang diemisikan oleh semua benda yang mempunyai temperatur
di atas nol mutlak. Radiasi merupakan satu-satunya bentuk energi yang berjalan
melewati ruang hampa di angkasa. Energi radiasi utama yang sampai ke bumi
adalah radiasi matahari. Insolasi (incoming
solar radiation) adalah radiasi matahari yang mencapai bidang horisontal
bumi, yang kadangpula diartikan sebagai “intercepted
solar radiation”. Insolasi merujuk pada input radiasi matahari ke dalam
sistem bumi – atmosfer. Insolasi yang jatuh tegak lurus pada puncak atmosfer
pada jarak rata-rata bumi – matahari disebut sebagai konstanta matahari yang
bernilai 1,94 cal/m2/menit atau sekitar 2 langley. Insolasi yang
masuk ke permukaan bumi adalah semua radiasi baik radiasi langsung maupun
diffuse. Distribusi insolasi selain tidak merata pada tiap lapisan atmosfer
bumi juga tidak merata di permukaan bumi.
2.1.
Neraca Radiasi
Radiasi
dibedakan menjadi dua yakni radiasi gelombang pendek (berasal dari matahari)
dan radiasi gelombang panjang yang berasal dari bumi. Neraca radiasi adalah
keseimbangan antara radiasi yang masuk kedalam sistem bumi dan radiasi yang
keluar dari sistem bumi. Oleh karena itu maka tidak ada penambahan atau
pengurangan panas pada sistem bumi. Neraca tersebut dapat diilustrasikan dengan
gambar 2.1 berikut :
Gambar 2.1 Neraca
radiasi
(https://www.e-education.psu.edu/meteo469/?q=book/export/html/111)
an hamburan, 3 bagian dipantulkan oleh permukaan dan 21
bagian dipantulkan oleh perawanan. Dengan demikian total albedo yang dialami
bumi sebesar 31 bagian. Albedo adalah perbandingan antara radiasi yang
dipantulkan dan radiasi yang datang. Sedangkan akibat hamburan oleh awan
sebanyak 20 bagian dan secara langsung radiasi matahari memanaskan permukaan
bumi sebesar 25 bagian maka total yang diserap oleh permukaan bumi sebesar 45
bagian. Yang telah disebutkan di atas adalah bujet energi gelombang pendek. Bila
kita anggap bahwa input radiasi matahari adalah 100 bagian maka 3 bagian
diserap oleh lapisan ozon di stratosfer, 3 bagian diserap oleh perawanan, 18
bagian diserap oleh gas-gas dan debu di atmosfer. Sebanyak 7 bagian mengalami
proses pantulan difuse d
Sedangkan
bujet radiasi gelombang panjang bisa digambarkan sebagai berikut. Input panas
permukaan sebesar 45 bagian diubah menjadi transfer panas laten (evaporasi) sebesar 19 bagian, transfer
konvektif (turbulen) sebesar 4 bagian, dan efek rumah kaca berupa radiasi dan
reradiasi inframerah sebesar 14 bagian. Ketiganya dilepaskan ke atmosfer,
sedangkan 8 bagian lainnya menjadi kehilangan panas langsung ke luar angkasa.
Telah disebut sebelumnya adanya 3 bagian yang diserap oleh awan dan 18 bagian
yang diserap gas-gas serta debu di atmosfer. Ke 21 bagian tersebut memberi
kontribusi panas ke atmosfer. Dengan demikian terdapat 66 bagian (= 21 + 19 + 4
+ 14 + 8) yang diperoleh dan hilang oleh atmosfer dan 3 bagian yang
diradiasikan oleh lapisan ozon ke angkasa (total 69 bagian energi yang
diradiasikan ke angkasa sebagai gelombang panjang). Karena terdapat 100 bagian
input energi matahari yang masuk dan 31 bagian sebagai albedo dan 69 bagian
yang keluar angkasa sebagai gelombang panjang maka terdapat kesetimbangan
antara radiasi yang masuk dan keluar sehingga bisa kita sebut sebagai
keseimbangan atau neraca radiasi. Saat ini kesetimbangan radiasi tersebut
diduga tidak lagi setimbang. Hal ini ditunjukkan oleh memanasnya atmosfer bumi
yang kita sebut sebagai pemanasan global. Lebih lanjut tentang pemanasan global
ini akan dibahas pada bab tentang perubahan iklim.
2.2.
Spektrum Radiasi
Susunan
lengkap dari semua panjang gelombang yang mungkin terjadi disebut spektrum
elektromagnetik. Berikut ini digambarkan spektrum elektromagnetik matahari
sebagai fungsi panjang gelombang dalam mikron dan intensitas radiasinya.
Terlihat bahwa warna ungu (violet)
merupakan panjang gelombang terpendek dari cahaya tampak (visible). Panjang gelombang yang lebih pendek dari ungu (0,4 mm)
adalah ultraviolet (UV) sedangkan panjang gelombang terpanjang dari cahaya
tampak berhubungan dengan warna merah. Panjang gelombang yang lebih panjang
dari merah (0,7 mm)
disebut inframerah (IR).
Bumi
dengan temperatur permukaan rata-rata mendekati 15 0C meradiasikan
hampir semua energinya antara 5 dan 25 mm dengan intensitas puncak di
wilayah mendekati 10 mm.
Karena matahari meradiasikan mayoritas energinya pada panjang gelombang jauh
lebih pendek dari pada radiasi bumi maka disebut sebagai radiasi gelombang
pendek, sedangkan radiasi bumi disebut sebagai radiasi gelombang panjang atau
radiasi terestrial.
(http://www.earthonlinemedia.com/ebooks/tpe_3e/energy/solar_radiation_spectrum.gif)
2.3.
Distribusi Radiasi Matahari
Radiasi
yang besar sepanjang tahun di wilayah sekitar ekuator (sampai dengan lintang 370
baik utara maupun selatan) menyebabkan pada wilayah tersebut mengalami surplus
energi radiasi. Sedangkan untuk wilayah-wilayah selebihnya mengalami defisit
energi. Karena sekat antara lintang-lintang tersebut tidak ada dan karena upaya
alam sendiri untuk mencapai kesetimbangan maka terjadi proses transfer panas
dari wilayah yang surplus ke wilayah defisit energi yang dilakukan melalui
sirkulasi atmosfer dan laut.
Diperkirakan
panas yang diserap oleh lautan sebesar 14,5 x 1022 joule, oleh
daratan sebesar 0,9 x 1022 joule dan oleh atmosfer sebesar 0,7 x 1022
joule. Dengan demikian jelas bahwa panas yang diserap oleh lautan jauh lebih
besar daripada panas yang diserap oleh daratan dan atmosfer.
Kita
mengetahui bahwa matahari berada paling dekat jaraknya dengan bumi terjadi pada
3 Januari dan paling jauh jaraknya dari bumi pada 4 Juli. Kita mula-mula bisa percaya
bahwa musim panas di BBS akan lebih hangat dibandingkan di BBU karena jarak
terdekat dengan matahari terjadi pada saat matahari berada di BBS (ingat gerak
semu matahari). Namun kita ketahui bahwa 80% permukaan bumi di BBS berupa air,
sedangkan di BBU sebesar 61%. Radiasi matahari yang diserap bumi diserap oleh
bodi air yang sangat besar di BBS sehinggga tidak dapat dengan cepat memanaskan
massa air yang demikian besar. Proses ini akan menjaga temperatur rata-rata
musim panas di BBS pada bulan Januari akan lebih rendah daripada di BBU musim
panas (Juli). Karena kapasitas panas laut yang demikian besar pula yang menyebabkan
musim dingin di BBS akan lebih hangat. Dengan demikian ini tidak lain akibat
dari permasalahan kapasitas panas lautan yang jauh lebih besar daripada daratan
dan luasnya lautan di BBS yang jauh lebih besar daripada daratan.
2.4.
Klasifikasi Iklim
Iklim
suatu tempat bisa kita perkirakan dengan menggunakan berbagai macam data iklim
(pendekatan generik atau empiris) seperti temperatur, curah hujan dan faktor
penentu iklim (pendekatan genetik) seperti misalnya massa udara yang berkuasa.
Sebenarnya di alam, iklim tersebut tidak mempunyai batas yang tegas. Selalu ada
wilayah transisi antara satu wilayah iklim dengan wilayah iklim lainnya.
Permasalahan utama dalam klasifikasi iklim adalah dalam memilih (jumlah)
parameter atau elemen iklim yang digunakan. Jumlah parameter yang hanya satu
sulit untuk mengklasifikasikannya sebagai klasifikasi iklim. Sebaliknya jika
kita memasukkan banyak elemen iklim maka hasilnya akan menjadi sangat kompleks
sehingga kita melanggar tujuan pengklasifikasian yakni unsur kesederhanaan. Oleh
karenanya maka biasanya kita menggunakan dua atau tiga elemen iklim saja. Turut
dipikirkan pula ambang batas (threshold)
atau nilai yang menentukan perubahan penting akibat parameter tersebut.
Karena
pendekatan generik jauh lebih mudah dilakukan dibanding pendekatan genetik maka
kebanyakan klasifikasi iklim menggunakan pendekatan generik. Pada saat ini dari
170 klasifikasi iklim, hanya 20 yang merupakan klasifikasi iklim pendekatan
genetik. Dari jumlah 20 tersebut, pola sirkulasi udara yang luas paling banyak
digunakan dan hanya 2 klasifikasi yang didasarkan pada neraca energi permukaan
bumi.
Salah
satu klasifikasi yang sangat populer sampai dengan saat ini adalah klasifikasi
iklim Koppen. Klasifikasi ini pada dasarnya menghubungkan antara iklim dengan
tumbuh-tumbuhan. Pada mulanya klasifikasi tersebut mendasarkan diri pada
pembagian tumbuh-tumbuhan seperti tercantum dalam peta Alphonse de Condola,
seorang ahli fisiologi tanaman berkebangsaan Prancis. Namun kemudian sistem ini
direvisi tahun 1918 dengan menaruh perhatian yang lebih besar pada unsur
temperatur dan curah hujan beserta variasi musimannya.
Hasil
dari klasifikasi Koppen dapat dilihat pada
gambar 2.3 di bawah ini.
Gambar 2.3 Distribusi
spasial iklim menurut Koppen
(http://www.harpercollege.edu/mhealy/geogres/maps/worldgif/wwclimh.gif)
Metode
pengklasifikasian iklim yang sering kita dengar adalah metode Thornthwaite,
Möhr, Smidth – Fergusson, Oldeman dan Junghun. Salah satu di antara metode
tersebut yakni metode Oldeman banyak digunakan untuk menentukan zone agroklimat
atau wilayah yang cocok untuk penanaman padi dan palawija khususnya di wilayah
pantai atau dataran rendah di pesisir pulau Jawa.
2.5.
Dampak Iklim pada Sebaran Tanaman
Tidak
dapat disangsikan bahwa iklim mempengaruhi distribusi atau sebaran tanaman.
Suatu tanaman membutuhkan jangkauan iklim tertentu. Tanaman mempunyai
temperatur kardinal untuk tumbuh dengan baik. Temperatur kardinal adalah
jangkauan temperatur dimana suatu tanaman bisa melaksanakan siklus hidupnya
dengan baik. Dalam temperatur kardinal tersebut terdapat temperatur minimum,
optimum dan maksimum. Bila tanaman berada pada kondisi temperatur di bawah
temperatur minimum maka tanaman tersebut akan mengalami perlambatan pertumbuhan
seperti misalnya pada waktu musim dingin. Sedangkan bila tanaman tersebut
berada pada lingkungan dengan temperatur di atas temperatur maksimum dalam
periode yang lama, maka tanaman bisa mati. Bila ia berada pada temperatur
optimum, tanaman akan tumbuh dengan sangat baik. Itulah sebabnya rumah kaca
diciptakan agar tanaman berada pada kisaran mendekati temperatur optimum.
Parameter
penting lainnya selain temperatur adalah curah hujan. Untuk melengkapi siklus
hidupnya maka tanaman membutuhkan air dalam jumlah yang cukup. Pada saat tahap
awal sampai vegetatif jumlah air yang dibutuhkan relatif lebih rendah dibanding
pada pertengahan musim (mid season).
Setelah itu memasuki tahap akhir atau panen kebutuhan airnya menurun. Pada
waktu tahap generatif, suatu tanaman relatif membutuhkan cukup banyak air. Air
yang dibutuhkan tanaman, selain dicukupi oleh irigasi untuk tanaman budidaya,
terutama disuplai oleh curah hujan. Dari penjelasan sebelumnya, telah diketahui
bagaimana distribusi curah hujan global wilayah-wilayah seperti sekitar ekuator
dan lintang 600 relatif mendapatkan suplai curah hujan yang lebih
banyak dibandingkan wilayah-wilayah lain. Oleh karena itulah maka tumbuhan di
wilayah berhujan banyak, lebar daunnya akan lebih besar dibanding di wilayah
yang kurang air. Ini tidak lain adalah upaya tanaman untuk memperbesar
transpirasi agar tanaman tidak kelebihan air.
Di
wilayah tropis dan hanya di wilayah tropis kita kenal hutan hujan tropis.
Padang savana banyak terdapat di bagian utara benua Australia dan hampir
separuh benua Afrika. Hutan-hutan yang berganti daun (deciduous forest) banyak terdapat di lintang-lintang tengah.
Tanaman-tanaman budidaya wilayah-wilayah beriklim basah contohnya adalah kelapa
sawit, kakao, tebu, talas, teh dan kopi. Tanaman budidaya wilayah beriklim
kering contohnya adalah jewawut, sorgum, jambu mete, kacang tanah, kapas,
jagung dan bunga matahari. Sedangkan tanaman yang cocok pada wilayah beriklim
sedang (artinya tidak terlalu basah atau kering) adalah kelapa, singkong,
kapas, gandum bahkan kopi dan kapaspun juga hidup di wilayah ini. Karena
faktor-faktor iklim yang lain kurang mengubah secara drastis pada jarak yang
pendek maka curah hujan biasanya merupakan faktor paling dominan dalam
mengontrol jenis vegetasi dan budidaya pertanian serta paling banyak menjadi
dasar bagi klasifikasi zone iklim. Pada gambar 2.4 di bawah disajikan gambaran
tentang sebaran tanaman yang dipengaruhi oleh iklim, dari mulai hutan hujan
tropis sampai dengan tundra di kutub. Wilayah hutan kering subtropic banyak
tersebar di benua Australia, Afrika dan Amerika. Wilayah tanaman perdu/
semak-semak banyak terdapat di sekitar padang pasir dan sebagainya.
Gambar
2.4 Distribusi tanaman berdasarkan iklim
(http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/77/Biomes.jpg)
BAB III
Siklus
Hidrologi
Siklus
hidrologi atau daur hidrologi atau siklus air merupakan proses yang sangat
penting dalam kehidupan. Tanpa adanya siklus hidrologi ini, kehidupan seperti
sekarang ini tidak mungkin terjadi. Kita akan bahas siklus tersebut menjadi
bagian-bagian presipitasi, run off, simpanan air permukaan dan bawah permukaan,
evaporasi dan kondensasi. Perhatikan gambar 3.1 berikut ini :
Gambar 3.1 Siklus
hidrologi
Terlihat
bahwa siklus hidrologi merupakan siklus tertutup tata air dari permukaan bumi
ke atmosfer kembali ke permukaan bumi lagi. Jumlah total air di bumi terbagi
menjadi dua yakni air laut yang mencakup 97,5% dan air tawar sebesar 2,5%. Dari
total air tawar tersebut 74% nya terdiri dari tutupan es dan glasier, 25,6%
berupa air permukaan dan hanya 0,4% berupa air danau, sungai, kebasahan tanah
dan air di atmosfer. Meskipun jumlah air di atmosfer sangat sedikit namun ia
memainkan peranan penting dalam proses cuaca di bumi. Tanpa adanya air di
atmosfer maka siklus hidrologi tidak terjadi dan kehidupan di bumi pasti juga
tidak akan seperti yang kita alami selama ini.
3.1.
Presipitasi
Presipitasi
atau endapan bisa berwujud hujan, salju, batu es (hail) dan sebagainya. Jadi sebenarnya tidak benar kalau presipitasi
hanya diartikan sebagai hujan. Di wilayah Indonesia, presipitasi sering
diartikan sebagai hujan disebabkan bahwa fenomena hujanlah yang paling
mendominasi wujud presipitasinya. Berikut ini disajikan curah hujan di
kota-kota besar di seluruh dunia yang dinyatakan dalam inchi dan centimeter.
Tabel 3.1 Curah hujan
rata-rata tahunan
Terlihat
bahwa curah hujan di Indonesia khususnya Jakarta jauh melebihi kota-kota lain
apalagi di wilayah padang pasir seperti Kairo, Mesir. Banyak alat pengukur
curah hujan yang bisa digunakan, seperti rain gauge tipe Helmann, tipping –
bucket, ombrometer, satelit dan radar.
Hujan dan salju merupakan sumber
utama kebasahan tanah sebagai bagian dari siklus hidrologi. Embun dan tetes
kabut memberikan pula kebasahan kepada tanah namun jumlahnya sangat sedikit
dibanding hujan dan salju. Pengukuran hujan dan salju sangat penting untuk
analisa hidroklimat, namun demikian
presipitasi sangat bervariasi terhadap ruang dan waktu dibandingkan
dengan temperatur dan tekanan.
Presipitasi dihasilkan dari
serangkaian proses dari mulai penguapan, pembentukan awan, proses mikrofisika
awan, sampai akhirnya terbentuk cairan atau padatan yang jatuh ke permukaan
bumi. Proses mikrofisika tersebut terjadi melalui proses tumbukan dan tangkapan
untuk awan panas dan proses Bergeron untuk awan dingin.
3.2.
Run off
Run
off sering disebut pula air larian. Namun orang meteorologi dan klimatologi
lebih familiar kalau air yang mengalir di atas permukaan tanah yang tidak
meresap atau menguap tersebut disebut sebagai run off. Run off dan stream flow
dapat berubah drastis ketika pola tata guna lahan berubah dari area yang
bervegetasi yang belum berkembang menjadi area pertanian atau kota. Run off
akan banyak tertahan oleh pepohonan dan vegetasi lain sehingga alirannya akan
jauh berkurang. Tetapi bila lahan-lahan sudah diubah menjadi bangunan-bangunan
dan dibeton maka bisa diharapkan bahwa run off akan berkecepatan tinggi dan
berpotensi menyebabkan banjir.
Kuantitas presipitasi memang
mempunyai peran yang dominan dalam run off, namun karakteristik presipitasi
yang lain penting dalam menentukan proporsi presipitasi yang menjadi run off.
Bentuk, intensitas, durasi, distribusi ruang dan waktu, frekwensi kejadian, dan
arah pergerakan badai misalnya mempunyai pengaruh pada run off yang bisa
diidentifikasi.
3.3.
Simpanan air permukaan dan bawah permukaan
Danau
merupakan bodi air di darat yang dibentuk secara alami, biasanya oleh gletser
atau gempa bumi. Ada pula yang terbentuk akibat air mengisi kawah suatu gunung.
Waduk adalah reservoir yang dibuat oleh manusia dengan membendung aliran
sungai. Waduk ini biasanya digunakan untuk menyimpan dan mengontrol air. Danau
di lintang temperate seperti misalnya di Eropa dan Amerika Utara menyumbang
pada peningkatan aliran sungai karena
presipitasi yang turun di permukaan lebih besar daripada evaporasi
darinya. Namun demikian peningkatan aliran sungai akibat prespitasi ini relatif
kecil dan bervariasi antara 5% dan 15% dari aliran masuk (Shelton, 2009). Sedangkan
air bawah permukaan bisa dijumpai di gua-gua yang banyak sungai bawah
permukaan. Contohnya gua Bribin di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang air
sungai bawah permukaannya digunakan untuk pembangkit listrik tenaga air dan
mencukupi kebutuhan air bagi masyarakat sekitar.
3.4.
Evaporasi
Evaporasi
adalah kehilangan air cair dari permukaan daratan dan air saat ia dikonversi
menjadi gas (uap air). Sedangkan transpirasi adalah air cair yang bergerak dari
tanah melalui tanaman dan menguap dari daun-daun. Karena kedua proses di atas
terjadi bersamaan dan kita sulit untuk memisahkan keduanya maka diperkenalkan
istilah evapotranspirasi. Untuk menghitung evapotranspirasi dapat dilakukan
menggunakan persamaan neraca air tanah yang bisa dinyatakan dengan :
ET = Si – Sf +
P + I
– D
dimana :
ET : evapotranspirasi
Si : simpanan air tanah awal
Sf : simpanan air tanah akhir
P : presipitasi
I : irigasi
D : drainase
Semua satuan yang digunakan di atas
adalah satuan panjang (mm).
Evapotranspirasi jelas merupakan
unsur iklim karena ia dikendalikan oleh radiasi matahari. Ada perbedaan antara
evapotranspirasi potensial dan evapotranspirasi actual. Evapotranspirasi
potensial merujuk pada jumlah uap air yang ditransfer ke atmosfer yang terjadi
dimana air selalu tersedia, sedangkan evapotranspirasi actual merujuk kondisi
yang sebenarnya. Ada tidaknya vegetasi sangat berpengaruh pada nilai
evapotranspirasi; bila ada vegetasi maka kontribusi dari transpirasi biasanya
lebih besar daripada evaporasi.
Seperti telah disebut di atas, vegetasi sangat
berdampak pada besarnya evapotranspirasi. Tidak hanya jenis vegetasi, tetapi
juga kerapatan, tahap pertumbuhan dan perkembangan juga mempengaruhi besar
kecilnya evapotranspirasi. Tanaman yang masih kecil dan masih sedikit daunnya
menyebabkan bagian evaporasi lebih besar daripada transpirasi, sebaliknya
tanaman yang daunnya telah sempurna menutup tanah menyebabkan bagian
transpirasi lebih besar daripada evaporasi.
Dalam dunia pertanian, besarnya evapotranspirasi ini sangat menentukan
kebutuhan air tanaman. Makin besar evapotranspirasinya makin besar pula
kebutuhan air tanaman. Jenis tanaman menentukan pada nilai koefisien tanamannya
yang berdampak pada besarnya evapotranspirasi. Banyak metode digunakan untuk
menghitung evapotranspirasi (rujukan) seperti misalnya Blaney-Criddle, Penmann,
Penmann-Monteith dan lain-lain. FAO menyarankan penggunaan metode
Penmann-Monteith untuk menghitung evapotranspirasi rujukan.
3.5.
Kondensasi
Kondensasi
adalah proses pendinginan uap air (gas) sampai dia menjadi cair atau dapat
diartikan sebagai proses perubahan dari uap air menjadi air cair. Proses ini
merupakan proses yang berlawanan dari proses evaporasi. Saat udara naik maka
dia akan mendingin dan air mengkondensasi membentuk perawanan bahkan hujan.
Saat udara turun maka dia memanas dan proses kondensasi tidak terjadi. Kabut
dan embun merupakan contoh proses kondensasi akibat pendinginan.
BAB
IV
PERUBAHAN
IKLIM
Sering
kali muncul pertanyaan : apakah perubahan iklim itu ? Jawabannya bisa sangat
terbuka dan tidak perlu mendefinisikan secara eksak dan kaku. Salah satu
definisi yang bisa kita katakan adalah berubahnya kondisi rata-rata cuaca di
suatu daerah tertentu yang disebabkan oleh pengaruh temperatur atmosfer yang
semakin meningkat. Menurut IPCC (Intergovermental
Panel on Climate Change) perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan
statistik parameter iklim baik secara alamiah maupun karena faktor aktivitas
manusia (antropogenik). Perubahan
statistik yang dimaksud adalah perubahan pada nilai rata-ratanya, perubahan
variabilitasnya, atau kombinasi keduanya. UNFCC (United
Nation Framework on Climate Change) mendefinisikan perubahan iklim sebagai
perubahan yang disebabkan hanya oleh aktivitas manusia.
Perubahan
iklim selalu dikaitkan dengan proses pemanasan global yang bisa dijelaskan
dengan gambar 4.1 berikut ini :
Gambar 4.1 Proses pemanasan global
(http://static.ddmcdn.com/gif/global-warming-4.gif)
Radiasi matahari yang masuk ke
dalam sistem atmosfer bumi mengalami proses-proses seperti yang dijelaskan pada
bab 2. Neraca tersebut terganggu dengan meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer
seperti karbondioksida, metana, dinitrooksida, uap air dan lain-lain. Dengan
meningkatnya gas rumah kaca tersebut maka radiasi gelombang panjang yang
dipancarkan bumi hanya sebagian yang mampu menembus ke ruang angkasa, sebagian
yang lain dipantulkan ke system atmosfer bumi. Akibatnya temperatur atmosfer
bumi meningkat yang kemudian kita kenal sebagai pemanasan global.
Efek
rumah kaca sebenarnya menerapkan proses pemanasan yang terjadi secara alamiah.
Karbon dioksida dan gas-gas rumah kaca yang lain selalu ada di atmosfer. Mereka
membentuk efek pemanasan seperti yang terjadi pada rumah kaca untuk tanaman.
Namun akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca tersebut maka proses
peningkatan pemanasan terjadi. Terjadi peningkatan konsentrasi gas rumah kaca
yang sangat pesat setelah era tahun 2005. Konsentrasi CO2 meningkat
35%, metana 142% dan dinitrooksida18%. Dalam kurun waktu tahun 1880 – 1980
(seratus tahun) CO2, CH4, CFC, N2O, dan yang
lain berturut-turut menyumbang 66%, 15%, 8%, 3% dan 8% terhadap pemanasan
global. Sedangkan dalam kurun waktu 1980 – 2000 (20 tahun) kontribusi
masing-masing gas rumah kaca tersebut berubah. CO2, CH4,
CFC, N2O dan gas-gas lain berturut-turut menyumbang 50%, 18%, 14%,
6% dan 12%.
Peristiwa
perubahan temperatur bisa pula dilihat dari perubahan konsentrasi CO2
di atmosfer. Kalau kita lihat runtun waktu selama 160 ribu tahun antara pola
temperatur dan pola konsentrasi CO2 terlihat adanya korelasi
keduanya yang cukup erat yang ditunjukkan adanya pola fluktuasi yang hampir
serupa. Sedangkan dari simulasi komputer, semua model memproyeksikan
peningkatan temperatur regional dan global meskipun upaya pengurangan emisi CO2
sudah dilakukan.
4.1 Dampak Perubahan Iklim
Setiap
bidang kehidupan di bumi pasti akan terpapar oleh perubahan iklim. Ada dampak
positif dan ada pula dampak negatifnya. Glasier di wilayah tropis berada di
beberapa pegunungan di Asia, Afrika dan Amerika latin. Mereka sangat berguna
untuk memenuhi kebutuhan air bagi orang-orang yang tinggal di bawahnya. Sebagai
contoh lelehan dari glasier di pegunungan Himalaya menyumbang pada aliran
sungai Gangga, Brahmaputra, Indus di India dan sistem sungai yang lain seperti
dataran tinggi kaldera di Peru, salju yang terbentuk pada musim dingin akan
meleleh pada musim panas dan menjadi sumber air bagi banyak sungai di Amerika
latin. Selain itu glasier bertindak sebagai penyangga yang mengatur run off
suplai air dari pegunungan ke dataran-dataran rendah selama bulan-bulan kering
dan basah. Sehingga glasier di wilayah tropis merupakan alat penting dalam
mengamankan produksi pangan. Glasier itu lebih sensitif terhadap perubahan
iklim dari pada glasier di tempat lain. Beberapa dekade terakhir menunjukkan
adanya kemunduran atau pengurangan area glasier di Himalaya dan daerah tropis
yang lain sehingga berdampak pada ketersediaan air.
Berbagai
studi melaporkan adanya peningkatan kejadian malaria, cholera, dan banyak
penyakit infeksi yang lain. Di belahan bumi utara terjadi peningkatan daya tahan
beberapa hama serangga di musim dingin. Di Afrika dan Australia banyak
kehilangan lahan basah dan rentan terhadap kekeringan. Peningkatan muka laut
akibat peningkatan temperatur sampai 2 0C menyebabkan habitat
burung-burung pantai terancam, seperti yang terjadi di Amerika Serikat.
Perubahan-perubahan
iklim telah nampak berpengaruh pada sistem biologi. Perubahan iklim yang
berlanjut dapat mengancam sejumlah besar sistem biologi. Contoh nyata
spesies-spesies yang bisa terancam oleh perubahan iklim adalah burung-burung
hutan di Tanzania, gorila gunung di Afrika, amfibi endemik hutan-hutan tropis,
dan beruang di Andes.
Gambar 4.2 Dampak
perubahan iklim pada sistem di bumi
(http://www.mindmapart.com/wp-content/uploads/2009/04/impacts-climate-change-mind-map-jane-genovese.jpg)
Terumbu
karang tak dapat diragukan lagi menyumbang keanekaragaman hayati pantai.
Meskipun hanya mencakup kurang lebih 1% dari lautan dunia namun dia merupakan
tempat tinggal bagi sepertiga spesies laut global. Selain itu ia melindungi pantai
dari gempuran ombak dan abrasi. Jadi perikanan, turisme, infrastruktur,
masyarakat dan kebudayaan bergantung kehidupan makhluk unik ini yang
dipengaruhi oleh peningkatan temperatur, CO2, dan muka laut. Banyak
spesies pembangun terumbu karang ini telah hidup pada batas atas termalnya
(batas atas suhunya). Perlu diketahui bahwa setiap makhluk hidup mempunyai
jangkauan (range) temperatur tertentu
untuk dia hidup dengan baik. Jika mereka terekspos oleh peningkatan temperatur
1 – 2 0C saja, mereka akan stres dan mengalami pencucian (bleaching). Mortalitas 50 – 90% di
karang-karang samudera Hindia berkaitan dengan temperatur permukaan laut yang
naik 2 – 6 0C yang dipicu oleh El Niño selama 1997 – 1998 dan tahun-tahun El Niño
yang lain.
Saat
ini ekosistem mangrov Australia mencakup 11.500 km2 dan merupakan
hutan mangrov terbesar di dunia. Sedangkan mangrov di Sunderban di Banglades
dan India mencakup 6.000 km2. Pada ekosistem mangrov ini,
keanekaragaman hayati sangat tinggi dan mempengaruhi banyak hal. Ekosistem
mangrov ini sangat rentan pada kenaikan muka laut akibat perubahan iklim.
Kenaikan muka laut sebesar 45 cm akan menenggelamkan 75% Sunderban dan kenaikan
100 cm akan menenggelamkan seluruh Sunderban. Selama abad 20, 50 – 70% hutan
mangrov Asia telah hilang karena ekstra eksploitasi dan digantikan oleh lahan
pertanian.
Bagi
negara-negara kepulauan kecil, beberapa dampak dari kenaikan muka laut dan
perubahan iklim adalah :
-
Peningkatan abrasi
pantai
-
Perubahan volume dan
kualitas air dengan meningkatnya intrusi air laut
-
Kerusakan terumbu
karang hasil kenaikan muka laut
-
Migrasi penduduk ke
tempat lain yang disebabkan oleh tenggelamnya pulau yang mereka tempati selama
ini secara permanen
-
Ketakstabilan sosial
yang terkait dengan migrasi antar pulau karena masyarakat terkonsentrasi pada
satu pulau tertentu.
Negara kepulauan
kecil yang sangat rentan terhadap perubahan iklim tersebut antara lain adalah
kepulauan Marshall, Kiribati, Tuvalu, Tonga, dan lain-lain di lautan Pasifik,
Antigua dan Nevis di laut Karibia, dan Maladewa di Samudera Hindia.
Dampak dalam
bidang kesehatan misalnya terlihat dari peningkatan kelembapan yang berpengaruh
pada meluasnya penyebaran nyamuk penyebar malaria. Selain itu cuaca yang hangat
akan meningkatkan penyebaran penyakit demam. Luas pemukiman bisa berkurang oleh
kenaikan muka laut akibat perubahan iklim, seperti juga telah disebut secara
eksplisit sebelumnya. Badai di daerah pantai yang mengancam ratusan juta
penduduk juga makin sering terjadi.
Pada bidang
pertanian dampak yang terjadi sangat kompleks dan bervariasi antara satu
wilayah dengan wilayah lainnya. Diproyeksikan bahwa lahan pertanian akan makin
bergeser ke arah utara, sedangkan wilayah-wilayah tropis banyak mengalami
kerusakan. Peningkatan pemanasan beberapa derajat Celcius dan penurunan jumlah
curah hujan akan banyak berdampak pada menurunnya produksi pertanian. Pada
beberapa wilayah, berkurangnya wilayah dan produktivitas lahan akan memaksa
para petani merambah wilayah-wilayah yang dilindungi seperti misalnya hutan-hutan
di pegunungan. Wilayah sub Sahara Afrika sering dijadikan contoh betapa
dahsyatnya dampak perubahan iklim. Wilayah tersebut merupakan wilayah dengan
ketergantungan air untuk bidang pertanian sebesar 85%. Oleh karena perubahan
iklim produksi pangan di wilayah tersebut bisa turun 8-16%. Ini tentu saja akan
meningkatkan ketergantungan pangan pada wilayah-wilayah lain, malnutrisi dan
sebagainya.
Cuaca ekstrim
yang akhir-akhir ini makin sering terjadi dipercaya juga dipengaruhi oleh
perubahan iklim. Salju yang menggila di benua Eropa atau di Amerika utara,
salju yang turun di padang pasir di Timur tengah, hurricane dan topan yang
makin sering terjadi dengan kekuatan yang besar menunjukkan hal ini. Bahkan
beberapa waktu yang lalu, air terjun Niagara pun membeku, yang disinyalir juga
merupakan dampak dari perubahan iklim. Banjir dan kekeringan di Asia dan
Australia yang sangat merugikan berbagai sektor kehidupan juga dipandang
dipengaruhi oleh perubahan iklim.
Puting beliung
yang akhir-akhir ini melanda Indonesia khususnya pulau Jawa mengalami tren
penguatan. Memang belum ada penelitian yang mengaitkan antara kejadian puting
beliung dengan perubahan iklim, tapi karena puting beliung dimasukkan dalam
kejadian cuaca ekstrim, mungkin ada kaitan atau korelasi di antara keduanya.
Dari uraian di
atas sangat jelas kelihatan bahwa perubahan iklim lebih sering membawa dampak
negatif daripada dampak positifnya, seperti juga ditunjukkan oleh gambar 4.2 di
atas. Oleh sebab itu sudah sewajibnya bagi kita untuk turut serta mengerem laju
perubahan iklim melalui berbagai kegiatan positif yang peduli pada lingkungan.
Akhir-akhir ini banyak digelorakan kegiatan peduli lingkungan dari yang
bersifat lokal sampai dengan berskala global dengan melakukan Reuse, Reduce,
dan Recycle (3R).
4.2 Protokol Kyoto
Persoalan
lingkungan hidup sebenarnya sudah lama mendapatkan perhatian serius masyarakat
dunia. Deklarasi Stokholn tahun 1972 menunjukkan hal tersebut meskipun hasilnya
belum mampu mengerem laju perusakan lingkungan hidup. Laporan Brundtland tahun
1987 hasil dari komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan tak berjalan
dengan baik sehingga diperlukan komitmen baru. Pada tanggal 2 sampai 14 Juni
1992 dilaksanakan KTT (konferensi tingkat tinggi) bumi di Rio de Janeiro
Brazil. KTT tersebut melahirkan sejumlah kesempatan, salah satunya tentang
konvensi perubahan iklim.
Konvensi
tentang perubahan iklim mencantumkan gagasan dan program untuk menurunkan emisi
gas rumah kaca secara internasional. Konvensi tersebut seharusnya berlaku
secara efektif sejak 21 Maret 1994. Indonesia mensahkan UU No. 6 tahun 1994
untuk membuktikan komitmen tersebut. Namun demikian negara-negara industri atau
penghasil gas rumah kaca yang besar mempunyai komitmen yang lemah dalam
melaksanakan konvensi tersebut. Oleh karena itu dibentuklah COP (conference of parties) III di Kyoto pada
Desember 1997. Pada pertemuan di Kyoto itulah dihasilkan Protokol Kyoto yang
mengatur dan mengikat secara hukum untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang
dilaksanakan secara individu atau bersama-sama. Emisi oleh negara maju harus
diturunkan 5% di bawah emisi 1990 dalam periode 2008 – 2012 melalui mekanisme
implementasi bersama, perdagangan karbon dan mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism).
Dengan
demikian Protokol Kyoto merupakan tonggak baru yang merupakan kesepakatan atau
persetujuan yang sah dimana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi
gas rumah kaca secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan tahun 1990 atau 29%
tahun 2010. Tujuannya adalah mengurangi rata-rata emisi enam gas rumah kaca
yang dihitung sebagai rata-rata selama 5 tahun antara 2008 – 2012. Target
nasional yang disepakati adalah negara UEA menurunkan 6% emisi, AS menurunkan
7%, Jepang 6%, Rusia 0%, Australia bisa menambah 8% dan Islandia bisa menambah
10%.
Sikap
yang tidak sewajarnya ditunjukkan oleh Amerika Serikat yang menyumbang 25%
emisi total dunia yang menolak protokol Kyoto dengan alasan tidak adanya
kewajiban yang mengharuskan 80% penduduk dunia di negara berkembang untuk
menaati kesepakatan dalam Protokol Kyoto. AS juga menyangsikan sempurnanya ilmu
pengetahuan mengenai pemanasan bumi dan solusinya sehingga diusulkan adanya
perdagangan karbon. Prinsip perdagangan karbon adalah industri di negara maju
dapat membuang sebanyak-banyaknya karbon ke udara asalkan membayar kepada
negara yang masih mempunyai hutan sebagai penyerap karbon.
4.3 Efek positif perubahan iklim pada pertanian
Peningkatan
temperatur, kebasahan dan penyebaran hama dan penyakit berdampak negatif pada
menurunnya produktivitas pertanian. Namun demikian dengan adanya peningkatan
konsentrasi CO2 di atmosfer bisa berdampak positif pada peningkatan
produktivitas pertanian. Ini karena terjadi peningkatan laju pertumbuhan dan
berkurangnya laju transpirasi tanaman. Pada kondisi tingkat CO2 yang
tinggi, tanaman-tanaman budidaya akan lebih efisien penggunaan airnya.
Peningkatan
temperatur bisa pula berdampak positif pada memanjangnya musim tumbuh dan
berkurangnya periode untuk pemasakan (mature)
tanaman. Ini tidak hanya terjadi pada wilayah-wilayah dataran tinggi tetapi
juga untuk wilayah-wilayah lintang tinggi. Meskipun demikian, faktor tanah juga
turut membatasi produksi. Tidak setiap potensi di atas bisa direalisasikan
tanpa memperhatikan faktor tanah. Faktor hujan yang lebih tinggi bisa
memungkinkan produksi pangan yang lebih tinggi dan memberikan lebih banyak air
untuk irigasi.
BAB
V
EL
NINO, LA NINA, MONSOON DAN DIPOLE MODE
5.1
El Nino dan La Nina
Seringkali
kita mendengar dari televisi, radio atau membaca dari media massa yang lain
termasuk dari media sosial tentang El Nino dan La Nina. Kedua fenomena ini
menjadi pembicaraan masyarakat awam sejak beberapa dekade terakhir akibat
sering disebut dan diwartakan setiap ada kejadian bencana kekeringan dan
banjir.
Sebelum
menjelaskan lebih lanjut kedua fenomena tersebut, ada baiknya kita ketahui dulu
apa itu El Nino dan La Nina. El Nino adalah anomali memanasnya temperatur
permukaan laut di lautan Pasifik ekuator bagian tengah dan timur yang berdampak
pada cuaca dan iklim global. Sedangkan La Nina adalah kebalikan dari El Nino
yakni anomali mendinginnya temperatur permukaan laut di Samudera Pasifik
ekuator. Keduanya dikatakan anomali karena memang merupakan penyimpangan dari
kondisi normal. Kalau kita melihat temperatur permukaan laut pada saat normal,
El Nino dan La Nina, kemungkinan kita tidak dapat membedakan dengan jelas
ketiga kondisi tersebut. Tetapi bila kita melihat anomalinya maka akan terlihat
jelas perbedaannya. Pada saat El Nino, lidah kolam panas akan menjulur dari
Pasifik ekuator timur sampai bagian baratnya. Kebalikannya saat La Nina, yang
menjulur adalah lidah dinginnya. Dengan demikian jelas bahwa El Nino dan La
Nina merupakan fenomena laut, namun karena keduanya merupakan peristiwa kopel
laut dan udara maka peristiwa yang terjadi di laut tersebut membawa dampak pada
kondisi atmosfer di atasnya. Dampaknya tidak hanya dirasakan dalam jarak pendek
tetapi juga jarak jauh (telekoneksi).
Peristiwa di lautan Pasifik tersebut bisa dirasakan di Indonesia atau bahkan di
benua Afrika.
Pada
awalnya sebenarnya kejadian El Nino (anak Tuhan, dalam bahasa Spanyol) hanya
dipandang sebagai peristiwa lokal di Peru saja. Pada bulan Desember menjelang
natal antara pelabuhan Paita dan Pacasmayo terjadi arus hangat ke arah selatan
yang terjadi tidak biasanya. Arus tersebut membawa dampak yang tidak baik di
antara kedua pelabuhan tersebut. Seandainya Dr. Luiz Caranza tahun 1891 tidak
menuliskan peristiwa tersebut pada buletin masyarakat Geografi Lima maka
mungkin peristiwa tersebut tidak akan mendapatkan perhatian banyak orang
termasuk para peneliti. Butuh waktu puluhan tahun untuk menyadari bahwa
peristiwa ini bukan bersifat lokal di Peru saja. Baru pada tahun 1960-an para
ahli oseanografi menyadari bahwa air hangat yang tidak biasanya tersebut
merupakan peristiwa yang meluas ribuan kilometer dari lepas pantai Peru.
Berbagai penelitian dilakukan sejak saat itu. Hasilnya bisa dilihat sekarang.
Fenomena tersebut makin kita ketahui perilakunya namun sampai sekarang belum
diketahui mengapa terjadi pemanasan tersebut. Selalu dilakukan upaya untuk
memprediksi kejadian El Nino pada suatu tahun dengan mengamati misalnya anomali
temperatur permukaan laut Pasifik ekuator. Upaya ini kadang berhasil tapi lebih
banyak gagalnya. Kita bisa membangun model yang bagus untuk kasus El Nino tahun
tertentu namun tidak akan baik untuk memprediksi kejadian El Nino yang lain.
Mengapa ? Ini disebabkan oleh unikmya setiap peristiwa El Nino.
Gambar 5.1 Kondisi
selama La Nina, normal dan El Nino
(http://www.pmel.noaa.gov/tao/proj_over/diagrams/gif/nina_normal_nino.gif)
El
Nino (disebut juga anak laki-laki dalam bahasa Spanyol) bisa terjadi setiap 2 –
7 tahun. Dengan demikian El Nino tidak mempunyai periode yang tetap. Dia bisa
berlangsung selama 12 sampai 18 bulan. Bicara tentang El Nino, tidak akan lepas
dari osilasi selatan. Pada tahun 1923, Walker, seorang Dirjen Pengamatan di
India tahun 1904, mengamati adanya fenomena yang kemudian orang sebut osilasi
selatan. Bila tekanan tinggi terjadi di lautan Pasifik maka tekanan rendah akan
cenderung terjadi di lautan Hindia dari Afrika sampai Australia.
Tulisan-tulisan yang dipublikasikan antara tahun 1923 dan 1937 menyatakan bahwa
osilasi selatan berkembang dan berdampak pada perubahan pola curah hujan dan
medan angin di lautan Pasifik dan Hindia tropis dan pada fluktuasi temperatur
di Afrika tenggara, Kanada barat, dan tenggara AS. Para peneliti memperkenalkan
istilah ENSO (El Nino and Southern Oscillation) untuk menggambarkan eratnya
hubungan antara kedua fenomena tersebut. Fase atau periode panas sering
digunakan untuk menyatakan El Nino dan fase atau periode dingin untuk La Nina.
Telah
disebut di atas pengaruh dari El Nino yang bisa terjadi dalam jarak pendek
maupun jauh. Pada saat BBU musim dingin peristiwa El Nino membawa dampak basah
dan hangat Pasifik ekuator bagian tengah dan kekeringan untuk sebagian besar
Indonesia. Pada pantai timur benua Afrika ekuator El Nino membawa dampak basah.
Sedangka La Nina membawa dampak meningkatnya kebasahan di wilayah Indonesia, kering
dan sejuk di Pasifik ekuator bagian tengah dan kering di dekat pantai timur
ekuator Afrika. Sedangkan ketika BBU musim panas, dampak El Nino relatif sama
seperti saat musim dingin. Justru pada kejadian La Nina relatif banyak yang
berbeda. Wilayah Indonesia misalnya, mengalami gado-gado basah dan dingin. Di
pantai barat Amerika latin sebelah selatan ekuator sejuk, sedangkan pantai
timur Argentina kering. Peristiwa di atas sebenarnya bisa dengan cukup mudah
dipahami jika kita memahami sirkulasi Walker, sirkulasi meridional, dan
hukum-hukum fisika proses fisis di atmosfer dan laut. Pemahaman tentang
sirkulasi umum atmosfer mutlak untuk dipahami.
Ada
banyak pelajaran yang bisa kita petik dari kejadian El Nino dan La Nina. Kita
bisa memahami hubungan antara El Nino – La Nina dengan iklim lokal. Dari
informasi empiris atau historis kita bisa merencanakan ke depan. Kita bisa
membuat ramalan yang informatif dan bisa digunakan. Agar dampak buruk mereka
dapat kita minimalisir, kemampuan meramal kita ditantang. Manajemen bencana
juga turut meningkat belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Tak kalah
pentingnya adalah diseminasi informasi kepada publik agar kesadaran mereka akan
bencana alam meningkat.
5.2 Monsoon
Kalau
sirkulasi umum disebabkan oleh gerak rotasi bumi yang berbentuk serupa bola
pada sumbunya maka monsoon lebih disebabkan oleh perbedaan pemanasan antara
daratan dan lautan yang berubah secara musiman. Wilayah monsoon secara kasar
mencakup seperempat permukaan bumi. Pada sistem ini angin dan presipitasi
mengalami perubahan dimana pada saat musim panas hujan sedangkan saat musim
dingin kering. Selama hampir 5000 tahun sistem monsoon sukses dalam mendukung
keberhasilan pertanian. Monsoon merupakan host
bagi 65% penduduk dunia. Terjadinya variabilitas antar tahunan bisa berdampak
bencana bagi sebagian wilayah.
Terdapat
tiga sistem monsun utama yakni monsun Asia – Australia, Afrika, dan Amerika.
Setiap sistem monsun tersebut mempunyai karakteristik tersendiri dan perbedaan
ketiganya dicirikan oleh musim panas hujan dan pembalikan angin musiman.
Menurut
Khromov, daerah monsun adalah daerah tempat angin dominan berbalik arah paling
sedikit 1200 antara bulan Januari dan Juli. Kenapa dipertentangkan
antara bulan Januari dan Juli ? Hal ini tidak lain karena pada kedua bulan
tersebut fakta menunjukkan bahwa angin berbalik arah. Bulan Januari merupakan
saat maksimum musim dingin di BBU sedangkan Juli adalah saat maksimum musim
panas di BBU.
Gambar 5.2 Sebaran
daerah monsoon menurut pandangan klasik
(http://blog.globe.gov/sciblog/wp-content/uploads/2011/12/Fig3.jpg)
Indonesia
yang merupakan bagian dari sistem monsoon Asia – Australia mempunyai
karakteristik monsoon yang luar biasa indahnya. Pada saat BBU musim dingin,
massa udara dari dataran tinggi Tibet menuju ke arah tenggara ke benua
Australia yang ketika berada di atas laut China selatan berubah arahnya menjadi
angin pasat timur laut. Indonesia bagian utara mendapatkan massa uap air yang
cukup banyak karena angin tersebut melewati laut dalam waktu yang lama; dengan
demikian perawanan juga banyak. Ketika melewati ekuator angin ini akan
dibelokkan oleh gaya Coriolis menjadi angin barat laut. Pada saat berada di
atas Indonesia bagian selatan angin inipun masih banyak mengandung uap air
sehingga perawanan dan hujan juga banyak terjadi. Pada saat BBU musim dingin
inilah Indonesia mengalami musim hujan, khususnya pada bulan-bulan Desember,
Januari dan Februari.
Ketika
BBS mengalami musim dingin, pola yang sebaliknya terjadi. Angin bertiup dari
daerah tekanan tinggi di Australia menuju ke arah benua Asia yang bertekanan
rendah. Angin tenggara tersebut sedikit membawa uap air ketika melewati
Indonesia sehingga hanya sedikit perawanan yang terbentuk. Akibatnya di
sebagian besar wilayah Indonesia yang bertipe monsoon mengalami musim kemarau.
Ini terjadi pada bulan-bulan Juni, Juli dan Agustus.
Selain
musim hujan dan kemarau di atas, kita kenal pula 2 musim peralihan yakni
peralihan I dan II. Peralihan pertama terjadi pada Maret – April – Mei
sedangkan peralihan kedua terjadi pada September – Oktober – November. Musim
peralihan pertama terjadi ketika monsoon musim dingin di BBU digantikan oleh
monsoon musim panas, sedangkan kondisi peralihan kedua terjadi hal yang
sebaliknya.
5.3 Dipole Mode
Indian Ocean Dipole Mode (IODM)
atau Dipole Mode (DM) adalah peristiwa dua kutub temperatur permukaan laut yang
terjadi di Samudra Hindia ekuator sebelah timur di barat Sumatra dan Samudra
Hindia ekuator bagian barat sebelah timur benua Afrika. Dua kutub tersebut
merupakan kutub-kutub temperatur permukaan laut yang berlawanan; bila di
Samudra Hindia ekuator bagian timur di atas normalnya maka di Samudra Hindia
ekuator bagian barat di bawah normalnya. Dipole Mode positif berarti temperatur
permukaan laut di Samudra Hindia sebelah timur lebih rendah daripada rata-rata
normalnya sedangkan temperatur permukaan laut di Samudra Hindia ekuator bagian
barat lebih tinggi.
Gambar 5.3 Dipole Mode
positif dan negatif, sebaran temperatur permukaan lautnya dan perawanannya (http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod/rao_cloud_p.jpg)
Seperti halnya El Nino dan Osilasi
Selatan yang mempunyai indeks, Dipole Mode pun mempunyai indeks yang disebut
Indeks Dipole Mode. Ia didefinisikan sebagai selisih anomali temperatur
permukaan laut di lintang 10o LS sampai 0o LU/LS 90-110o
BT (samudra Hindia bagian timur) dan 10oLS sampai 10oLU
50-70 BT (samudra Hindia bagian barat. Bila IDM tersebut bernilai lebih dari
0,35 maka disebut sebagai IDM positif sedangkan bila bernilai kurang dari -0,35
maka digolongkan sebagai IDM negatif. Kedua jenis kutub ini turut berpengaruh
pada distribusi curah hujan di sekitar samudra Hindia bahkan juga mempunyai
efek telekoneksi. IDM positif membawa pengaruh pada penurunan curah hujan di
Sumatra khususnya dan Indonesia bagian barat, sedangkan IDM negarif membawa
peningkatan curah hujan di Sumatra dan Indonesia bagian barat.
Kombinasi antara El Nino dan La
Nina dengan IDM positif dan negatif sangatlah unik. Bila terjadi IDM positif
yang disertai dengan El Nino maka akan berdampak pada penurunan curah hujan
yang cukup signifikan di wilayah Sumatra dan sekitarnya. Sedangkan bila terjadi
La Nina yang disertai dengan IDM negarif maka berdampak pada peningkatan curah
hujan di Sumatra dan sekitarnya. Macam DM positif dan negatif dapat dilihat
pada gambar 5.3 di atas.
Daftar
Pustaka
Prawirowardoyo, Susilo, 1996.
Meteorologi, Penerbit ITB, Bandung
Philander, SG, 1990. El Nino, La Nina
and the Southern Oscillation. Academik Press. San Diego.
Wiratmo, Joko. 2013. Materi diklatnas
Geografi, Bandung
Neiburger, M. JG Edinger. WD Banner.
1995. Memahami lingkungan atmosfer kita terjemahan oleh Ardina Purbo. Penerbit
ITB, Bandung.
Ahren, D. _____ Essentials of
meteorology : An invitation to the Atmosphere 3rd ed _______
Smith, JB et al. Vulnerability to
climate change and reasons for concern : A synthesis _____
Aydinalp, C and MS Cresser. 2008. The
effects of global climate change on agriculture. Amerika – Eurasian J. Agrie
& Environ. Sci, 3(5) : 672 – 676.
Hegard, GC and FW Zwiers ____ Understanding
and atributing climate change.
Henderson-Sellers, A and PJ Robinson.
1986. Contemporary Climatology. Longman Group UK Limited. Harlow
Djokowiratmo.blogspot.com, diakses 17
Januari 2014.
Shelton, ML. 2009. Hydroclimatology: Perspectives and applications.
Cambridge University Press. Cambridge
http://www.sahfos.ac.uk/climate%20encyclopaedia/images/climatesystem.jpg,
diakses 2 Januari 2014
http://blogs.ei.columbia.edu/wp-content/uploads/2010/04/wally-ocean-conveyor-no-credit.jpg,
diakses 2 Januari 2014
http://www.learner.org/courses/envsci/visual/img_lrg/atmospheric_circulation.jpg,
diakses 4 Januari 2014
http://www.skepticalscience.com//pics/jetstream-2.jpg,
diakses 5 Januari 2014
http://www.earthonlinemedia.com/ebooks/tpe_3e/energy/solar_radiation_spectrum.gif,
diakses 8 Januari 2014
http://www.harpercollege.edu/mhealy/geogres/maps/worldgif/wwclimh.gif,
diakses 10 Januari 2014
http://www.cgd.ucar.edu/cas/Topics/hydro.colB.png,
diakses 14 Januari 2014
http://static.ddmcdn.com/gif/global-warming-4.gif,
diakses 16 Januari 2014
http://www.mindmapart.com/wp-content/uploads/2009/04/impacts-climate-change-mind-map-jane-genovese.jpg,
diakses 19 Januari 2014
http://www.pmel.noaa.gov/tao/proj_over/diagrams/gif/nina_normal_nino.gif,
diakses 21 Januari 2014
http://blog.globe.gov/sciblog/wp-content/uploads/2011/12/Fig3.jpg,
diakses 23 Januari 2014
http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod/rao_cloud_p.jpg,
diakses 23 Januari 2014
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/77/Biomes.jpg,
diakses 13 Maret 2014
https://www.e-education.psu.edu/meteo469/?q=book/export/html/111,
diakses 18 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar